BAB II
PEMBAHASAN
TEORISASI DALAM PENELITIAN
KUALITATIF
2.1
Wacana
Teori Dalam Penelitian Kualitatif
Sebagaimana stereotip teoristis dalam
penelitian kualitatif, terkadang ketika suatu masalah kualitatif harus
dipecahkan, peneliti cenderung dipengaruhi oleh stereotip teoritis kuantitatif
dengan menggunakan teori untuk menjawabnya.
Stereotip ini dipengaruhi oleh salah
satu tipe penelitian kualitatif, yaitu deskriptif kualitatif, dimana
sesungguhnya tipe penelitian kualitatif itu belum benar-benar kualitatif.
Karena kendati mengandalkan analisis-analisis kualitatif yang akurat dan andal,
namun pengaruh arus berpikir kuantitatif masih kuat dan mengakar pada
penelitian ini.
Pada umumnya peneliti-peneliti
kualitatif deskriptif berupaya keras agar pembahasan mereka lebih cenderung
kualitatif dari pada kuantitatif, dengan mendekati makna dan ketajaman
analisis-logis dan juga dengan cara menjauhi statistic”sejauh-jauhnya” maka
kualitatif deskriptif diterima sebagai salah satu tipe penelitian kualitatif.
Teorisasi dalam penelitian kualitatif
menggunakan beberapa model yaitu:
1. Model
deduksi dimana teori masih menjadi alat penelitian sejak memilih dan menemukan
masalah, membangun hipotesis, maupun melakukan pengamatan di lapangan sampai
dengan menguji data.
2. Model
induksi, dimaksud bahwa peneliti tak perlu tahu tentang sesuatu teori, akan
tetapi langsung ke lapangan. Teori tidak penting disini, namun datalah yang
paling penting.
Ada dua pendapat yang berbeda dalam
model ini, pertama mengatakan bahwa peneliti harus memfokus perhatiannya pada
data dilapangan sehingga segala sesuatu tentang teori yang berhubungan dengan
peneliti menjadi tak penting. Kedua para ahli mengatakan bahwa pemahaman
terhadap teori bukan sesuatu yang haram, namun data tetap menjadi fokus
peneliti dilapangan. Teori menjadi tak penting namun pemahaman objek penelitian
secara teoristis juga membantu peneliti di lapangan saat mengumpulkan data.
Pandangan kedua lebih banyak digunakan
pada desain kualitatif-verifikatif, bahwa penelitian tidak perlu buta sama
sekali terhadap data namun pemahamannya terhadap data sebelumnya cukup membantu
peneliti untuk memahami data yang akan diteliti.
2.2
Teorisasi
Dalam Penelitian Kualitatif
1. Teorisasi
Deduktif
Teorisasi dengan model deduktif tak asing
lagi dalam penelitian social di mana teorisasi dilakukan secara deduktif .
Model umum teorisasi deduktif seperti yang umumnya dilakukan di berbagai
penelitian kuantitatif dan masih mempengaruhi format kualitatif deskriptif
merupakan teorisasi yang paling sering digunakan karena format kualitatif
deskriptif paling banyak digunakan dalam penelitian kualitatif.
Teori digunakan sebagai awal menjawab
pertanyaan penelitian sesungguhnya pandangan deduktif menuntun penelitian
dengan terlebih dahulu menggunakan teori sebagai alat, ukuran bahkan instrument
untuk membangun hipotesis, sehingga peneliti secara tidak langsung akan
menggunakan teori sebagai “kacamata kuda”nya dalam melihat masalah penelitian.
Dalam teori deduktif peneliti didominasi
oleh teori-teori yang telah dipilihnya pada awal melakukan penelitian, dan
dengan begitu pula ia dipengaruhi oleh teori itu ketika melakukan uji dan
pembahasan terhadap teorinya itu.
Teori deduktif umunya diakhiri dengan
bahasan-bahasan tentang teori tersebut diterima, mendukung dan memperkuat,
meragukan dan mengkritik, dan merevisi bahkan membantah dan menolak.
a) Menerima
teori artinya bahwa hasil-hasil penelitian ternyata mendukung teori tersebut
sehingga hasil penelitian memperkuat teori yang ada, dengan demikian teori
semakin kuat untuk dibantah.
b) Meragukan
dimaksud adalah bahwa teori dalam posisi dapat dikritik karena telah mengalami
perubahan-perubahan disebabkan karena waktu yang berbeda.
c) Sedangkan
membantah teori dimaksud bahwa berdasarkan hasil penelitian, semua aspek teori
tidak dapat dipertahankan karena waktu yang berbeda.
2. Teorisasi
Induktif
Melakuakan teori induktif berbeda dengan teori diduktif. Perbedaan
utamanya adalah cara pandang terhadap
teori, dimana teorisasi deduktif menggunakan teori sebagai pijakan awal
melakukan penelitian, sedangkan teorisasi induktif menggunakan data sebagai pijakan
awal melakukan penelitian, bahkan dalam format induktif tidak, mengenal
teorisasi sama sekali, artinya teori dan teorisasi bukan hal yang penting untuk
dilakukan. Sebaliknya data adalah segala-galanya untuk memulai sebuah
penelitian.
Keunggulan model induktif ini bahwa
penelitian dilakukan pada tingkat paling mendasar (grounded) sehingga
seringkali peneliti memulai dari titik nol sebuah penelitian, yaitu dimana
suatu fenomena belum terungkapkan dalam berbagai teori dan fenomeba social yang
terbaca. Model ini memiliki 4 kemampuan sebagai berikut :
1. Menerima
teori karena mendukung teori
2. Meragukan
teori kemudian mengkritiknya
3. Membantah
teori kemudian menolaknya
4. Membangun
teori baru yang sebelumnya belum pernah ada
2.3
Kategorisasi
Model Akhir Penggunaan Teori
1. Apabila
teori di terima maka akan didukung dan diperkuat
2. Apabila
teori diragukan maka akan dikritik dan direvisi
3. Apabila
teori ditolak maka akan dibantah
2.4
Sistematika
Teori
Theory paradigma
Grand theory ilmu
Middle theory variabel
Application
theory paradigma
Konsepsional konsep
Metodologi proposisi
Disebut grand theory karena sampai saat
ini teori-teori itu menjadi dasar lahirnya teori-teori lain dalam berbagai
level, sementara disebut makro karena teori-teori ini berada di level makro,
bicara tentang struktur dan tidak berbicara fenomena-fenomena mikro. Sementara
yang disebut dengan middle theory adalah teori tersebut berada pada level mezzo(level
menengah)dimana focus kajiannya makro dan juga mikro.
Kunci kendali memilih teori dalam
penelitian adalah selain memahami konteks sejarah maupun konteks social dimana teori itu
dilahirkan. Sehingga apabila teori itu digunakan peneliti akan memahami
struktur masing-masing teori itu bahkan mampu menyusun sebuah skema
perkembangan teori dari masa lalu sampai pada konteks di mana seseorang
melakukan penelitian.
2.5
Ragam Teori Dan Teorisasi Dalam Penelitian
Asumasi dasar bahwa teori structural fungsional,
teori system, dan teori sosiologi makro merupakan gagasan dan ide manusia tidak
lahir dari ruang kosong. Ia lahir sebagai respons terhadap berbagai kondisi
dalam lingkungan objektif di mana ia berada. Kondisi-kondisi dimaksud antara
lain lingkungan fisik, tingkat teknologi, system organisasi ekonomi dan
sebagainya.
Strategi teoristis berusaha menjelaskan cirri dasar
kehidupan social dengan merujuk pada daya kreatif pikiran manusia.. manusia
menciptakan rangkaian gagasan umum dalam mengarahkan pola tingkah lakunya.
Antropologi sherry ortner (1974) menerapkan strategi
teori ini untuk menjelaskan peranan jenis kelamin dalam berbagai kebudayaan
manusia. Secara khusus ia menjelaskan mengapa wanita di hamper semua kebudayaan
merupakan jenis kelamin yang tersubordinasi, bahkan aktifitas mereka dinilai rendah.
Dengan bertolak dari klasifikasi binary oppositions yang merupakan pola
klasifikasi umum dalam semua masyarakat manusia. Ia menemukan temuan menarik,
katanya wanita diasosiasikan dengan alam, sedangkan laki-laki dengan
kebudayaan. Wanita dilihat lebih dekat denagn alam, baik dari proses fisik
maupun aktifitasnya. Wanita mengalami menstruasi, harus menyusui dan memiliki
hubungan dekat dengan anak-anaknya. Sebaliknya, laki-laki dekat dengan berbagai
aktivitas budaya, seperti politik dan agama. Oleh karena itu laki-laki dan
segala aktivitas budayanya lalu diasosialisasikan lebih tinggi dari pada
wanita.
Menurut parsons seorang individu tak mungkin lepas
dari ikatan-ikatan struktur social dimana ia berada. Meski tidak mungkin lepas
ikatan-ikatan terstruktur dan norma-norma social yang berlaku, namun seorang
individu memilki kemampuan untuk memilih berbagai alternative tindakan yang
aktif, kreatif, dan evaluative yang memungkinkan tercapainya tujuan khas yang
ia inginkan.
Konsep action menunjuk pada suatu aktivitas yang
dilakukan secara kreatif lewat of proses penghayatan diri individu yang penuh
makna. Dalam the structur of social action, parsons menggambarkan aksi (action)
sebagai tingkah laku voluntaristik yang mencakup beberapa elemen pokok yaitu :
1. Actor
sebagai individu yang aktif
2. Actor
memiliki tujuan yang ingin dicapai
3. Actor
dihadapkan pada pilihan beragam cara yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan.
4. Terdapat
beragam kondisi dan situasi yang bisa mempengaruhi actor dalam memilih cara
untuk mencapai tujuan.
5. Penetuan
tujuan yang diinginkan dan cara untuk mencapainya, senantiasa berpedoman pada
nilai-nilai, norma-norma dan ide-ide tertentu yang ada dalam lingkungan social
dimana actor berada.
6. Tindakan
atau pun pengambilan keputusan untuk bertindak dengan cara tertentu, merupakan
hasil dari pertimbangan actor atas segala system situasi yang ingin dihadapi(nilai, norma,
kondisi dan situasi)
Analog dengan skema dasar teori aksi
tersebut dapat dikatakan bahwa tindakan seseorang terkait dengan beberapa variabel
yaitu :
1. Variable
nilai dan norma
Tindakan sesorang
selalu dikondisikan oleh nilai dan norma bersama dimana ia berada. Hal itu
disebabkan karean seorang individu pada dasarnya bereksistensi social. Seorang
individu hidup dalam sebuah masyarakat yang telah memilki struktur objektif
yang mengikat semua anggotanya.
2. Variable
tujuan
Setiap tindakan memilki
tujuan tertentu. Kepada tujuan itulah tindakan seseorang individu itu
diarahkan. Tujuan yang hendak dicapai akan menentukan bagaimana seseorang
memilih cara, alat, strategi yang akan ditempuh.
3. Variable
sumber daya
Untuk mencapai tujuan yang
dikehendaki, seorang membutuhkan sarana pendukung baik berupa kemampuan ekonomi
maupun kemempuan non ekonomi. Factor sumber daya ini berperan sebagai kekuatan
adaptif bagi seseorang, baik dalam menentukan cara, sarana, serta teknik
mencapai tujuan, maupun dalam mempertimbangkan nilai-nilai dan norma-norma
bersama yang harus ia patuhi. Singkatnya, dimensi sumber daya yang dimiliki
seseorang berfungsi sebagai energy atau kekuatan yang mendukung kemampuan
seseorang untuk mencapai tujuan yang bermakna baginya.
Dalam kaitan ini, weber mengusulkan lima
hal pokok yang mesti dikaji
1. Tiap
tindakam manusia yang menurut pelaku mempunyai makna yang subjektif dan
bermanfaat.
2. Tindakan
nyata bersifat membatin dengan maksud tertentu dari pelaku.
3. Tindakan
yang berkaitan dengan pengaruh positif (menurut pelaku) dengan situasi dan
kondisi tertentu.
4. Tindakan
tersebut diarahkan kepada orang lain dan bukan pada barang mati.
5. Tindakan
itu dilakukan dengan memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang
lain tersebut.
Asumsi dasar teori structural-fungsional
adalah bahwa seorang individu hanyalah alat struktur yang tidak memiliki
pilihan lain kecuali mengikuti kehendak struktur. Bagi structural fungsional,
masyarakat adalah sebuah system dimana bagian-bagiannya menyatu dalam
keseimbangan, dan selalu mengkondisikan seseorang berbuat sesuai dengan
struktur social dimana ia berada.
Anatomi action theory dari parsons
tersebut dapat pula dikembangkan kedalam system social. Dalam hal ini, parsons
melihat actor dikaitkan dengan situasi dalam hal motif dan nilai, menurut
parsons ada 3 motif :
1. Cognitive
: yakni motif mendapat informasi
2. Cathective
: yakni motif mendapat sentuhan emosi
3. Assessment
: yakni motif melakukan evaluasi.
Disamping itu terdapat pula 3 bentuk
nilai :
1. Cognitive
: yakni nilai standart tujuan yang ingin dicapai
2. Appreciative
: nilai tentang standart penghargaan, ukurannya adalah pantas atau tak pantas
3. Moral
: yakni nilai yang benar atau salah
Motif-motif dan nilai-nilai tersebut
menimbulkan bentuk-bentuk tindakan yang dikenal dengan istilah :
1. Instrumental
: yaitu tindakan yang merealisir tujuan secara efisien
2. Ekspresif
: yakni tindakan untuk mendapatkan kepuasan emosional
3. Moral
: yakni tindakan yang menyangkut prinsip benar atau salah
Ada
5 hal yang diajukan Parsons sebagai pattern variables yaitu :
1. Affective
vs affective neutrality. Dalam suatu hubungan soaial, orang dapat brtindak
untuk pemuasan afeksi/kebutuhan emosional, atau bertindak tanpa unsur afeksi
itu. Usaha suatu pemuasan kebutuhan mungkin sesuai bagi dirinya sendiri, tetapi
belum tentu bagi orang lain.
2. Self-orientation
vs.collective orientation. Dalam hubungan yang berorientasi hanya pada diri
sendiri, orang mengajar kepentingan pribadi. Sedangkan dalam hubungan berorientasi
kolektif, kepentingan tersebut sebelumnya telah didominasi oleh kelompok.
3. Universalism
vs. particularism. Dalam hubungan yang universalistis, para pelaku saling
berhubungan menurut criteria yang dapat diterapkan kepada semua orang ,
sedangkan dalam hubungan yang partikularistik digunakan ukuran-ukuran tertentu.
4. Quality
vs. performance. Dalam hubungan yang berdasarkan bobot (quality), seseorang
menjalin kerja sama atau kooperasi dengan orang yang status sosialnya sama.
Sedangkan dalam hubungan yang kinerja (performance) didasarkan pada
prestasi yang dapat diberikan oleh
masing-masing pihak.
5. Specificity
vs. diffusness. Dalam hubungan yang khusus, seseorang berhubungan dengan orang
lain dalam situasi yang terbatas serta tertentu. Sedangkan dalam hubungan yang
diffuse, seorang menjalin hubungan dengan orang lain dalam rentangannya yang
lebih luas seperti hubungan family.
Bagi teori interaksi simbolik, tindakan
individu dalam masyarakat merupakan hasil dari pemilikan simbol-simbol bersama dengan mana individu bisa merundingkan
tindakan masing-masing sehingga mereka cocok satu sama lain dalam suatu
keseluruhan yang terorganisasi.
Cara untuk merekam makna-makna simbolik
itu salah satunya adalah Lewat apa yang dianjurkan
Randall Collins, yakni mengamati kehidupan sehari-hari mereka. Mengapa
kehidupan sehari-hari itu penting? Paling sedikit ada 4 alasan :
1. Kehidupan
sehari-hari sangat riil, tidak dapat disangkal, dapat diamati secara langsung dalam
interaksi social atau kegiatan orang-orang tertentu dalam suatu kelompok social
tertentu.
2. Dalam
tindakan atau interaksi social yang terjadi sehari-hari itu, pasti ada makna
yang ingin dinyatakan orang atau orang-orang atas tindakannya. Konsep tindakan
(action) dan tindakan social (social action) dalam sosiologi Max Weber, atau
dalam intersubjektivisnya Alfred Schutz
sangat tepat menggambarkan makna ini.
3. Bagi
subjek atau actor yang bersangkutan dunia kehidupan sehari-hari itu pada umunya
dianggap biasa saja. Tapi bagi seorang peneliti dunia seperti itu sangat
penting artinya. Karena dengan kenyataan tersebut kita dapat memahami cara
mereka mempertahankan hubungan social dan kelompok. Di sinilah letaknya jawaban
atas pernyataan yang selalu dikemukakan oleh ahli sosiologi dari semua aliran,
yakni how is society possible.
4. Tingkah
laku social itu menyatu dengan kehidupan manusia. Dan dapat diamati dalam
kehidupan sehari-hari, dalam tindakan, dalam percakapan, dan dalam apa yang orang
sedang kerjakan dan gunakan.
2.6
Aliran
Teori Yang Mendasari Teorisasi Dalam Penelitian
Setidaknya ada 4 teori dalam ilmu social
yang lazim diasosialisasikan dengan pendekatan penelitian kualitatif yaitu :
1. Teori-teori
tentang budaya
2. Teori
fenomenologi
3. Teori
etnomenologi
4. Teori
interaksionisme simbolik
Dengan mengadopsi pendapat Morgan dan
Smircich, berikut ini ditunjukkan posisi masing-masing aliran teori dalam
tantangan garis kontinum antara kedua kutub paradigm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar